Pagi hari yang cerah itu kumulai dengan
mencuci baju semua orang rumah. Tiba-tiba abah memanggilku. Aku sedikit terusik
dengan adanya kotak cincin di atas meja dan adanya umi disana. "Apakah ini
waktunya?" Pikirku. Abah akhirnya menyuruhku duduk dan perlahan mulai
berkata, "Mariyam, sudah ada yang mengkhitbahmu. Dia adalah anak teman
yang sudah abah anggap sebagai saudara. Menurut abah, laki-laki ini sangat baik
untukmu. Agamanya baik, pendidikannya baik dan abah sudah mengenal keluarganya
sebagai keluarga yang baik pula. Abah hanya memberikan masukan, keputusan
terserah padamu". Umi pun ikut dalam pembicaraan, "Pikirkan dulu
Mariyam, umi dan abah hanya menginginkan kebahagiaanmu". Mendengar
perkataan umi, aku pun bertanya, "Apakah abah dan umi yakin dengan orang
ini?". Abah hanya menjawab, "Melihat agamanya saja sudah membuat abah
yakin dengannya". Aku tahu jika abah sudah mengatakan keyakinannya pada
seseorang, pastilah orang ini dapat dipercaya. Tanpa berpikir panjang aku
menjawab khitbah itu, "Aku terima khitbahnya abah. Katakan itu padanya.
Aku ikhlas jika abah dan umi juga ikhlas menyerahkanku padanya".
Mendengar aku mau menikah, sepupuku Annisa langsung berkunjung ke rumah. Saat
dia datang, aku begitu senang karena hanya dia saudara perempuanku. Kakakku,
Rofiq dan Hakim, mereka laki-laki dan semuanya telah menikah. Aku hanya hidup
bertiga dengan abah dan umi di rumah dekat pesantren abah. Aku tidak pernah
merasa kesepian karena ada banyak teman santri dari pesantren abah. Kuliahku di
Al Azhar telah ku selesaikan. Abah menyuruhku pulang setelah itu. Katanya sudah
saatnya mengamalkan ilmu yang ku dapat untuk negara sendiri yang sangat
membutuhkan. Globalisasi telah mengikis nilai-nilai agama yang ada dan perintah
bagi setiap muslim untuk menuntut ilmu sampai ke negeri Cina. Itu yang
menjadikan abah merelakanku pergi menuntut ilmu di Al Azhar. Sekarang abah
menyuruhku untuk mengamalkan ilmu di pesantrennya, mengajarkan dan membimbing
kaum muda yang sudah terjerat budaya-budaya asing menuju pada budaya Islam yang
lebih baik dan terang jalannya. Dari kecil, aku selalu mengikuti perkataan umi
dan abah karena aku percaya, hanya mereka yang pasti ikut sedih ketika aku
menangis dan ikut bahagia ketika aku tertawa.
Suatu hari, ada pengajar baru yang datang ke kantor abah ditemani dengan
seorang ibu yang kuduga adalah ibunya. Lama sekali mereka di kantor abah. Entah
apa yang dibicarakannya. Setelah selesai mengajar, seperti biasanya aku mampir
ke kantor abah untuk mengajaknya pulang bersama. Tapi, pengajar baru dan ibunya
itu masih ada disana. Kuurungkan niatku untuk menemui abah. Aku langsung pulang
ke rumah. Setelah pulang, abah tidak menceritakan apapun tentang tamu yang
datang itu. Aku merasa abah aneh saat itu. Tapi, mungkin ini adalah hal biasa,
mungkin pengajar itu adalah pengajar baru yang butuh bimbingan lagi dari abah
sehingga ibunya juga ikut bertamu dalam waktu yang cukup lama.
Keesokan harinya, aku datang seperti biasa ke kantor para ustadzah. Hari itu
pun terasa sangat aneh. Para ustadzah keluar masuk kantor ustadz. Padahal
biasanya jika ada ujian dan rapat, baru ada ustadzah yang keluar masuk kantor
ustadz. Aku akhirnya ikut pergi ke kantor ustadz bukan karena aku ingin tahu
alasan para ustadzah, tapi karena aku ingin menanyakan laporan bulanan yang
diminta abah tempo hari pada ustadz Sholehudin. Tanpa menoleh kanan kiri, aku
langsung menuju meja ustadz Sholehudin untuk menanyakan laporan bulanan itu.
Setelah menyerahkannya, ustadz Sholeh mengenalkanku dengan ustadz baru. Setelah
melihatnya, aku langsung tahu alasan para ustadzah keluar masuk kantor ustadz.
Harus kuakui, ustadz itu memang tampan, wajahnya putih bersih. Namanya Affan
Hakim Abrar. Itulah pertemuan pertamaku dengan ustadz Affan.
Setelah ustadz Affan mengajar, semakin riuh ustadzah-ustadzah itu
membicarakannya. Karena aku sudah tidak tahan, jadi aku bicara pada abah soal
ini. Tapi, abah hanya bilang itu bukan masalah yang besar, nanti juga terbiasa.
Aku mencoba untuk bersabar lagi. Mungkin memang benar kata abah, pasti setelah
satu atau dua minggu lagi, mereka pasti akan terbiasa.
Benar kata abah, setelah dua minggu, ada ustadzah yang sudah tidak
membicarakannya lagi. Tapi, masih lebih banyak yang membicarakannya. Jujur, aku
risih sekali. Seharusnya sebagai ustadzah, mereka harus menjadi contoh yang
baik untuk para santri dan lingkungannya. Dan yang paling membuatku risih
adalah ustad Affan sendiri. Sudah tahu dibicarakan banyak orang, bukannya
memberikan pengertian yang baik, malah seperti terus mau bergaya setiap hari.
Baru kali ini aku merasa benar-benar kesal pada seseorang.
Tak sengaja aku bertemu ustadz Affan selesai mengajar. Aku akhirnya
memberanikan diri untuk bicara padanya. "Ustadz, saya mau bicara
sebentar" Tanyaku. "Ya ustadzah, ada apa? Sepertinya penting
sekali." Jawab ustadz Affan. "Apakah ustadz tahu kalau para ustadzah
selama ini banyak membicarakan ustadz?" Tanyaku. "Tidak ustadzah,
saya tidak mengetahui apapun tentang itu. Apakah ustadzah sudah berusaha
mengingatkan?" Tanyanya. "Saya sudah mengingatkan berkali-kali
ustadz, bahkan saya pernah melaporkan hal ini pada abah. Tapi, abah hanya
menanggapi secara biasa. Saya mohon pada ustadz, jangan lagi bersikap atau
berbuat sesuatu yang membuat mereka membicarakan ustadz." Kataku.
"Maaf ustadzah, selama ini saya tidak merasa bersikap atau berbuat yang
aneh-aneh. Saya hanya bersikap dan berbuat selayaknya seorang pengajar.
Memangnya apa yang dibicarakan? Apa mungkin mereka membicarakan kebaikan
saya?" Tanyanya. Aku sempat jengkel sekali mendengar jawabannya itu,
seolah-olah dia selalu melakukan kebaikan sepanjang hidupnya. "Kalaupun
mereka membicarakan kebaikan ustadz, tetap saja itu hal yang tidak
diperbolehkan. Saya yakin ustadz juga tahu tentang hal itu." Kataku.
"Tapi, apabila mereka membicarakan tanpa membandingkan, saya pikir itu
masih diperbolehkan." Jawabnya. Semakin aku mendengar jawabannya, semakin
aku jengkel padanya. "Tetap saja, mungkin sekarang tidak, tapi esok hari
siapa yang akan tahu? Saya mohon ustadz, tolong bersikap sewajarnya saja. Dan
tolong bantu saya mengingatkan mereka ustadz, ini juga kewajiban ustadz karena
juga telah mengetahuinya." Kataku. "Tentu ustadzah" Jawabnya.
"Terimakasih. Saya permisi dulu. Assalamualaikum." Jawabku.
"Waalaikumsalam warohmatullahhiwabarokatuh..." Jawabnya. Sejak itu,
aku sering berdebat dengan ustadz Affan. Tapi anehnya, di setiap pertengkaranku
dengannya, aku selalu merasakan sedikit kebahagiaan. Aku hanya berpikir,
mungkin karena selama ini aku tak pernah punya teman yang bisa kuajak
bertengkar.
Suatu hari, ada seorang perempuan
cantik datang ke pesantren. Awalnya dia menemui abah di kantornya. Setelah aku
bertanya pada abah, ternyata dia adalah pengajar ilmu fiqih yang baru. Dia
bernama Syakira Nabila. Dia juga adalah lulusan Al Azhar dan teman baik ustadz
Affan disana. Sejak ada ustadzah Nabia, ustadz Affan lebih banyak berbincang
dengannya. Kedekatan antara mereka berdua semakin jelas terlihat.
Hari itu hari Jumat. Seperti biasa, akan dilaksanakan pengajian rutin di
pesantren. Aisyah juga datang, ingin membantu dan menemuiku. Sore itu, abah
menyuruhku menemui ustadz Affan, untuk memberitahukan bahwa abah ingin dia
menggantikannya untuk memimpin pengajian dan memberikan sedikit ceramah disana
karena abah sedang ada keperluan. Hampir sampai aku di rumah ustadz Affan, aku
melihat ustadzhah Nabila disana. Aku tak mendengar dengan jelas apa yang
sebenarnya mereka bicarakan. Mereka terliihat serius sekali. Aku semakin
mendekat. Dan aku mendengar ustadzah Nabila berkata bahwa ia telah mencintai
ustadz Affan sejak di Kairo, ia ingin ustadz Affan menjadi imam dalam
keluarganya nanti. Aku tersentak mendengarnya. Tanpa sadar, air mata mulai
menetes di pipiku. Aku langsung berlari meninggalkan tempat itu. Aisyah
melihatku dan mulai mengejarku. Dia menghentikan langkahku. "Ada apa?
Kenapa kamu berlari, dan kenapa kamu menangis?" Tanyanya. Tak lama
kemudian, ustadz Affan dan ustadzhah Nabila keluar ke jalan. Aku hanya
memendanngnya sambil menangis. Aisyah akhirnya melirik ke arah ustadz Affan.
"Apa karena itu?" Tanyanya. "Aku tidak tahu apa yang terjadi
padaku Aisyah, kenapa air mataku terus menetes melihat mereka berdua, hatiku
rasanya sakit sekali. Apa yang terjadi padaku Aisyah?" Jawabku. "Apa
kamu telah jatuh cinta padanya?" Tanyanya. Aku terus saja menangis tanpa
mengatakan apapun. "Katakan Maryam! Apa kamu mencintai ustadz Affan? Aku
akan bilang ini pada abahmu supaya pernikahanmu tidak dilanjutkan saja."
Jawabnya. "Tunggu Aisyah! Aku mohon, jangan bilang ini pada abah, tanggal
pernikahanku telah ditentukan. Pada pengajian minggu depan, abah akan
mengumumkannya ke semua orang di pesantren. aAku tidak mau mempermalukan abah
di depan siapapun. Lagi pula, aku yang mengambil keputusan saat itu, jadi aku akan
tetap menjalankannya. Mungkin ini hanya emosi sesaatku. Berjanjilah padaku
Aisyah, kau tak akan bilang ini pada abah." Pintaku. Aisyah hanya
memandangku dengan ratapan yang sedih dan dia mulai mengiyakan permintaanku.
Hari begitu cepat berlalu, hari pernikahanku sudah tinggal beberapa hari lagi.
Aku hanya mencoba untuk terus ikhlas menerima semuanya. Hari ini aku akan
mencoba kebaya' yang akan kugunakan saat pernikahan nanti. Aisyah selalu ada di
sampingku. Saat aku mencoba kebaya’ku, handphone Aisyah berdering. Entah siapa
ynag menelpon, tapi Aisyah terlihat sangat tegang. Dia hanya menatapku. “Lekas
ganti bajumu, aku akan menunggu di luar.” Katanya. Aku jadi semakin khawatir,
Aisyah tidak pernah terlihat seserius ini. Dia membawaku ke rumah sakit. “Siapa
yang sakit?” Tanyaku. Lagi-lagi, dia hanya menatapku dan langsung menarik
tanganku. Akhirnya kami tepat di depan ruang IGD. Disana ada abah, umi dan
lainnya. Aku semakin bertanya, siapa yang sakit. Setelah beberapa lama, aku
baru menyadari bahwa ustadz Affan tidak disana. Aku mulai panik. Aku terus
berdzikir mengingat Allah. Dan mamang benar, ustadz Affan yang ada disana. Dia
mengalami kecelakaan saat hendak pergi ke rumah ibunya. Setelah dipindahkan
dari IGD, abah dan umi yang terlebh dahulu mellihat keadaan ustadz Affan di
kamarnya. Ustadz Affan masih terbaring koma. Kini giliranku dengan Aisyah yang
menjenguknya. Aku langsung menangis melihat dia terbaring dan belum sadar.
Pelan-pelan aku berjalan, kemudian duduk di sampingnya. Tangisku semakin
menjadi. “Ustadz, sadarlah ustadz, aku mohon sadarlah. Jangan membuat semua
orang khawatir seperti ini. Ustadz, aku tidak pernah membencimu jadi tolong
jangan pergi. Ustadz, ketahuilah, di setiap marahku padamu, aku selalu
menyisipkan rasa cinta di dalamnya. Aku tahu perasaan ini tidak pantas ustadz
karena pernikahanku tinggal menghitung hari. Tapi, aku hanya ingin kau tahu,
bahwa disini akan ada orang yang selalu menunggumu, orang yang selalu ingin
melihatmu, orang yang selalu mengukir namamu di dalam hatinya. Dan orang ini
adalah aku. Terlepas apakah ustadz memiliki perasaan yang sama atau tidak, aku
akan selalu berdoa untukmu. Jika memang Allah mengijinkan kita bersama, maka
aku akan sangat senang. Tapi, jika Allah menghendaki yang lain. Maka aku akan
tetap melanjutkan pernikahan dan aku akan mencoba ikhlas menerimanya.”
Tangisku.
Setelah menjenguk ustadz Affan, aku dan
Aisyah pulang bersama abah dan umi. Sesampainya kami di rumah, abah mengajakku
bicara. “Maryam, apa benar kau cinta pada ustadz Affan? Saat abah ingin masuk
mengingatkanmu agar tidak terlalu lama, Abah mendengar semua yang kau katakan
tadi. Apa benar itu Maryam?” Tanya abah. “Maafkan Maryam abah, Maryam memang
mencintai ustadz Affan. Tolong abah batalkan pernikahan ini. Mana bisa aku menjadi
istri yang baik jika aku telah mencintai orang lain?” Jawabku. “Maafkan abah
Maryam. Abah tidak akan bisa membatalkannya. Pernikahanmu sudah disiapkan
secara matang. Jadi, ikhlaslah menerima semuanya.” Jawab abah.
Keesokan harinya, ustadz Affan masih
belum sadar. Aku disini hanya meratap dan berusaha ikhlas seperti kata abah. Tapi,
hatiku sangat sakit. Mana bisa aku menikah sedangkan ustadz Affan terbaring
sakit disana. Aisyah selalu berusaha menenangkanku. Sudah dua hari terlewati,
masih belum ada kabar dari ustadz Affan dan dua hari lagi adalah hari
pernikahanku.
Akhirnya hari pernikahanku tiba. Tangisku
tak bisa kutahan. Rias wajah juga tak bisa menutupi kesedihanku. Aisyah
mengusap air mata di pipiku. “Percayalah, Allah ingin kau bahagia.” Katanya
menenangkan. Aku dibimbing Aisyah menuju masjid. Terlihat sudah ada abah dan
umi disana. Banyak dari pengajar dan santri yang datang. Sudah terlihat juga,
calon suamiku duduk di hadapan penghulu sedang menungguku. Aku duduk
pelan-pelan. Aku tak memperhatikan apapun di sekitarku. Aku hanya terus
berusaha menahan tangisku. “Sudah siap?” Tanya penghulu. “Ya” Jawab calon
suamiku. Mendengar suaranya, aku langsung menolehnya. Subhanallah, dia adalah
ustadz Affan. “Subhanallah...” Kataku. Aku lantas menoleh abah dan abah hanya
tersenyum dan menggangguk. Pada akhirnya, abah yang menikahkanku dengan ustadz
Affan. Setelah pernikahan, ustadz Affan ternyata harus kembali ke rumah sakit
untuk perawatannya yang belum selesai. Aku bertanya padanya, kenapa tiba-tiba
dia yang ada di sampingku? Dia pun menjawab sambil tersenyum kecil, “Pertemuan
pertama kita bukanlah di pesantren ini. Melainkan di kereta saat kita di Kairo.
Saat itu, kau mengambilkan tiketku yang terjatuh. Saat itulah, aku mulai
menaruh perhatian padamu. Aku juga melihatmu saat ada pertemuan dengan KBRI.
Saat itulah aku tahu namamu. Aku mencari informasi-informasi tentang dirimu. Dan
hanya hal baik yang aku dengar tentang dirimu. Saat aku tahu nama ayahmu, aku
ingat ayahku pernah berbincang dengan nama itu di telepon. Lantas aku bertanya
pada ayahku, dan ternyata ayahmu adalah teman baik ayahku. Pemilik pesantren,
memiliki dua orang putra dan satu orang putri yang masih belajar di Kairo.
Setelah aku lulus dari Al Azhar, aku membicarakan niatku menikahimu dengan
ayahku. Dia langsung setuju. Setelah kau lulus, aku menyampaikan khitbah itu
pada abahmu. Dan kau setuju meski tanpa melihat fotoku. Jadi, aku berusaha
memperkenalkan diriku padamu dengan cara lain, dengan menjadi ustadz disini.
Aku juga ingin, kita menikah atas dasar cinta. Dan aku berharap, dengan aku
berada disini, lebih sering bertemu, kau bisa mencintaiku. Tapi, ternyata kau
lebih sering marah padaku.” Aku bertanya lagi, “Bukannya ustadz masih sakit?”. “Aku
memang kecelakaan waktu itu. Aku ingin tinggal di rumah sebelum kita menikah.
Saat kau menangis menjengukku, aku mendengar ucapanmu. Dan keesokan harinya aku
sadar, tapi masih belum kuat untuk berjalan. Tapi, alhamdulillah Allah telah
mengijinkanku datang saat pernikahan kita. Aku bisa berjalan walau belum sembuh
total.” Jawabnya. “Dan bagaimana dengan ustadzah Nabila?” Tanyaku penasaran. “Dia
hanya kuanggap sebagai sahabat. Kalaupun dia menyukaiku, aku akan lebih
memilihmu. Karena aku yakin kau adalah pilihan Allah untukku. Karena aku yakin,
pertemuan kita memang telah diatur olehNya.” Jawabnya. “Jadi istriku... Kau
boleh marah ataupun tersenyum sepanjang hari kepadaku. Aku akan menerimanya.
Tapi, tolong berhentilah menangis karena merasa mencintai orang yang salah.”
Katanya sambil tersenyum padaku. Allah selalu punya rencana indah untuk kita
dan aku percaya itu. Affan dan aku, Maryam sekarang telah hidup bahagia dalam
naungan kasih sayangNya.
THE END